UPAYA MEMBANGUN KARYAWAN YANG BERKUAITAS MELALUI PENINGKATAN KECERDASAN EMOSIONAL -
SPIRITUAL (ESQ)
Oleh: Daru Asih
Staff Accounting
Master Teacher
Program
Graduate Mercu Buana University
Graduate Mercu Buana University
Abstract
There
‘re many literatures about business organization-system building that use the
human resources as determinant to make the competitive advantage. But they
don’t discuss the disposition of people (fitrah manusia) so the role of the
human resources haven’t been maximum in achieving the competitive advantage.
This
paper discuss the Emotional and Spiritual Quotient (ESQ) as an integration of
IQ, EQ and SQ to enhance the quality of human resources. The human resources
are unique and different from the others resources. The ESQ can
integrate the intellegence and heart of people (rational, emotional and
spiritual elements) in building the strong character and personality that
based on the sublime human values. Finally, the advance and the success will
be achieved through the human resource having good quality, not only
intellectually, but be balanced with the high ESQ. With this descriptive
analysis of ESQ, we ‘ll see the problem clearly and the results of this view
‘ll contribute the important matter to create the competitive advantage
through the human resources’ capabilities.
Key Words: Emotional
Quotient, Spiritual Quotient, quality of human resources and emotional and
spiritual quotient.
|
Pendahuluan
Pencarian terhadap
spiritualitas terus tumbuh subur di tengah masyarakat. Menurut Aburdene (2006) dalam buku Megatrends
2010, pencarian atas spiritualitas adalah megatrend terbesar di masa sekarang
ini. Jutaan orang telah mengundang spirit masuk ke dalam hidup mereka, melalui
perkembangan pribadi, agama, meditasi, doa, ataupun yoga. Pencarian spiritual
mengubah bentuk berbagai aktivitas, prioritas, pencarian kesenangan, dan
pola-pola pembelanjaan masyarakat.
Bahaya terbesar yang dihadapi
umat manusia sekarang ini bukanlah semakin menipisnya lapisan ozon pada
atmosfer bumi akibat pemanasan global , ataupun luapan lumpur Lapindo yang
tiada kunjung berhenti, bukan pula meningkatnya angka kemiskinan akibat
membubungnya harga BBM, bahaya besar itu adalah perubahan fitrah manusia. Unsur
kemanusian di dalam dirinya sedang mengalami kehancuran sedemikian cepat,
sehingga yang tercipta sekarang ini adalah sebuah ras yang non manusiawi. Dengan kata lain inilah mesin yang
berbentuk manusia, yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam
yang fitrah.
Selama ini banyak berkembang dalam masyarakat kita
sebuah pandangan stereotip, dikotomisasi antara dunia dan akhirat, dikotomisasi
antara unsur-unsur kebendaan dan unsur agama, antara unsur kasat mata dan tak
kasat mata, materialisme versus orientasi nilai-nilai Ilaihiyah semata. Mereka
yang memilih keberhasilan di alam “vertikal”cenderung berpikir bahwa kesuksesan
dunia justru adalah sesuatu yang bisa “dinisbikan” atau sesuatu yang bisa
demikian mudahnya ‘dimarginalkan’. Hasilnya, mereka unggul dalam kekusyukan
dzikir dan kekhitmatan berkontemplasi namun menjadi kalah dalam percaturan
ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, politik dan perdagangan di alam
‘horizontal’. Sebaliknya, mereka yang berpijak hanya pada alam kebendaan,
kekuatan berpikirnya tak pernah diimbangi oleh kekuatan dzikir. Realitas
kebendaan yang masih membelenggu hati, tidak memudahkan baginya untuk berpijak
pada alam fitrahnya.
Sementara itu salah satu penyebab terjadinya
berbagai krisis, seperti krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia ini adalah
berpangkal pada mutu sumber daya manusia itu sendiri. Perilaku orang dan etika
orang berwirausaha telah jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan nilai kebenaran
yang hakiki. Yang terjadi adalah “hukum rimba bisnis” yang sangat tidak
manusiawi, yang kuat memakan yang lemah, dan hanya berorientasi jangka pendek
semata. Hukum rimba ini berdampak pada terganggunya keseimbangan tatanan
ekonomi, sosial, budaya dan politik secara meluas dan sangat dalam, yang
akhirnya berujung pada “keterpurukan” bangsa dan negara seperti sekarang ini.
Dalam dunia bisnis, sumber
keunggulan kompetitif berganti dari waktu ke waktu. Sumber daya manusia
merupakan kunci utama untuk meraih keunggulan kompetitif, karena sumber daya
manusia adalah faktor yang unik yang tidak bisa disamakan dengan sumber daya
lainnya. Fungsi sumber daya manusia mempunyai peranan penting dalam perusahaan. Faktor manusia
tidak lagi hanya sebagai faktor produksi, tetapi telah dianggap sebagai asset
perusahaan. Perusahaan tidak lagi mengandalkan teknologi, hak paten maupun
posisi strategis, tetapi lebih memfokuskan pada pengelolaan tenaga kerjanya.
Noe, et
al. (2000) menyatakan bahwa sumber daya manusia mempunyai fungsi penting
dalam menentukan kesuksesan ketika perusahaan menghadapi tantangan-tantangan
globalisasi. Tantangan- tantangan tersebut terdiri atas pasar global yang
semakin luas, daya saing sumber daya manusia di pasar global dan bagaimana
mempersiapkan sumber daya manusia untuk menghadapi pasar tenaga kerja.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu psikologi
dan perkembangan dalam mengelola sumber daya manusia, diketahui bahwa
kesuksesan seseorang bekerja bukan semata-mata didasarkan keterampilan dan
kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, tetapi didasarkan juga pada kecerdasan
emosional (Emotional Quotient/EQ). EQ memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk kesuksesan sumber daya
manusia baik secara individu maupun kelompok dalam menghadapi
tantangan-tantangan globalisasi.
Namun pada akhir abad
keduapuluh, serangkaian data ilmiah terbaru yang sejauh ini belum banyak
dibahas, menunjukkan adanya jenis kecerdasan ketiga yaitu kecerdasan spiritual
(SQ). SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif, dapat mengubah aturan dan
situasi. SQ memberi kemampuan untuk membedakan, memberi kita rasa moral,
kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan pemahaman dan cinta
serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan pemahaman sampai pada
batasannya.
Selanjutnya, meskipun SQ dan EQ berbeda, namun keduanya
memiliki muatan yang sama-sama penting untuk bersinergi satu sama lain, yang
kemudian oleh Ary Ginanjar Agustian digabungkan menjadi kecerdasan emosional
dan spiritual atau lebih dikenal sebagai Emotional and Spiritual Quotient
(ESQ). ESQ mampu mengintegrasi kekuatan otak dan hati manusia dalam
membangun karakter dan kepribadian yang tangguh, yang didasari nilai-nilai
mulia kemanusiaan, yang pada akhirnya akan tercapai kemajuan dan keberhasilan
melalui sumber daya manusia yang berkualitas, yang tidak hanya cerdas secara
intelektual, namun juga diimbangi dengan kecerdasan emosi-spiritual yang tinggi
pula.
Kecerdasan Emosi (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ)
Menurut Derk dalam Scott (1996), kecerdasan adalah
kemampuan memproses informasi dan memecahkan masalah. Kecerdasan emosi (EQ)
adalah suatu kecerdasan yang merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan diri
sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya
dengan orang lain (Goleman, 2000). Sedangkan Salovey dan Mayer dalam Goleman
(2000) mendefinisi kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan
mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan itu
untuk memandu pikiran dan tindakan. Dan secara lebih praktis, Scott (1996)
menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memecahkan masalah yang
berhubungan dengan situasi sosial dan hubungan antara manusia.
Penemuan konsep EQ telah
mengubah pandangan para praktisi sumber daya manusia bahwa keberhasilan kerja
bukan semata-mata didasarkan pada kecerdasan akademik yang diukur dengan IQ
yang tinggi tetapi lebih pada kecerdasan emosinya. Peran IQ dalam mendukung
keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua sesudah EQ. Menurut
Goleman (2000), beberapa konsep yang perlu diperhatikan adalah:
1.
Kecerdasan
emosi tidak hanya berarti “bersikap ramah.” Pada saat-saat tertentu yang
diperlukan mungkin bukan sikap ramah melainkan sikap tegas.
2.
Kecerdasan
emosi bukan berarti memberikan kebebasan perasaan untuk berkuasa, melainkan
mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresi dengan tepat dan
efektif yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancar menuju sasaran
bersama.
Dalam
sebuah perusahaan yang banyak mengandalkan kerja kelompok atau tim, EQ
mempunyai peran yang sangat besar dalam mendukung keberhasilan tim. Menurut Druskat
dan Wolf (2001) hasil studi menunjukkan bahwa sebuah tim akan lebih kreatif dan
produktif ketika di dalam tim tersebut tercipta suatu partisipasi, kooperasi
dan kolaborasi di antara anggotanya. Akan tetapi perilaku interaktif tersebut
memerlukan tiga kondisi yang harus dipenuhi, yaitu pertama, adanya saling
percaya di antara anggota (mutual trust among member) , kedua, setiap
anggota mempunyai sense of identity,
yaitu bahwa timnya adalah suatu yang unik, kemudian yang ketiga, setiap
anggota tim mempunyai sense of
efficacy, yaitu suatu kepercayaan bahwa tim akan bekerja lebih efektif jika
setiap anggota bekerjasama dibandingkan apabila setiap anggota bekerja
sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang cukup baik. Syarat tersedianya
kondisi tersebut di atas adalah adanya emosi. Ketiga hal tersebut akan muncul
dalam suatu lingkungan yang dalam hal ini emosi dikelola dengan baik.
EQ sama
pentingnya dengan kecerdasan intelektual (IQ). EQ memberi kita kesadaran
mengenai perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain. Goleman (2000)
menyatakan bahwa EQ merupakan persyaratan dasar untuk menggunakan IQ secara
efektif.
Menyusul temuan tentang EQ ini, pada akhir abad
kedua puluh ditemukan lagi jenis kecerdasan yang ketiga yaitu kecerdasan
spiritual, yang melengkapi gambaran utuh mengenai kecerdasan manusia. Zohar dan
Marshall (2000) mendefinisi kecerdasan spiritual (SQ) sebagai
kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan
untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas
dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang
lebih bermakna dibandingkan yang lain. SQ merupakan landasan yang diperlukan
untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, dan SQ ini merupakan kecerdasan
manusia yang paling tinggi tingkatannya.
SQ digunakan untuk menghadapi masalah-masalah
eksistensial, yaitu ketika orang secara pribadi merasa terpuruk, terjebak oleh
kebiasaan, kekhawatiran dan masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan. SQ
dapat juga menjadikan orang lebih cerdas secara spiritual dalam beragama,
artinya seseorang yang memiliki SQ tinggi mungkin menjalankan agamanya tidak
secara picik, eksklusif, fanatik atau prasangka. SQ juga memungkinkan orang
untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta
menjembatani kesenjangan antara diri
sendiri dan orang lain. Seseorang yang memiliki SQ tinggi cenderung menjadi
seorang pemimpin yang penuh pengabdian, bertanggung jawab untuk membawakan visi
dan nilai yang lebih tinggi kepada orang lain, dan bisa memberi inspirasi
kepada orang lain.
Kecerdasan Emosi-Spiritual (ESQ)
Kecerdasan emosi-spiritual (ESQ) merupakan sinergi
dari EQ dan SQ yang pertama kali digagas oleh Ginanjar (2001) sebagai
penggabungan antara kepentingan dunia
(EQ) dan kepentingan spiritual (SQ). Kecerdasan emosi-spiritual merupakan dasar
mengenali dan memahami bagian terdalam dari suara hati kita sendiri dan juga
perasaan serta suara hati orang lain, di mana suara hati adalah dasar
kecerdasan emosi-spiritual dalam membangun ketangguhan pribadi sekaligus
membangun ketangguhan sosial (Ginanjar, 2001).
Kecerdasan emosi-spiritual juga merupakan
kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya
kepekaan emosi sebagai informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi untuk
mencapai sinergi, yakni saling menjalin kerjasama antara seseorang atau
kelompok orang dengan orang lain atau kelompok lain dan saling menghargai
berbagai perbedaan, yang bersumber dari suara hati manusia sebagai dasar
mengenali dan memahami bagian terdalam dari suara hati kita sendiri, juga
perasaan serta suara hati orang lain.
Selama ini IQ, EQ dan bahkan
SQ yang ada hanya berorientasi pada hubungan antar manusia, sedangkan
nilai-nilai transendental (Ketuhanan) baru sebatas filosofis saja. SQ yang
dipaparkan Danah Zohar dan Ian Marshall baru membahas sebatas adanya God-Spot
pada otak manusia, tetapi tidak memiliki nilai transendental atau hubungan
dengan Tuhan. Sedangkan kecerdasan emosi-spiritual (ESQ) sebagai sinergi dari
EQ dan SQ ini sudah menjangkau nilai-nilai Ketuhanan. ESQ Model yang
dikembangkan ini merupakan perangkat kerja dalam hal pengembangan karakter dan
kepribadian berdasarkan nilai-nilai Rukun Iman dan Rukun Islam, yang pada
akhirnya akan menghasilkan manusia unggul di sektor emosi dan spiritual, yang
mampu mengeksplorasi dan
menginternalisasi kekayaan ruhiyah dan jasadiyah dalam hidupnya (Ginanjar,
2001).
Kecerdasan emosi-spiritual senantiasa berpusat
pada prinsip atau kebenaran yang hakiki yang bersifat universal dan abadi.
Ginanjar (2001) mengungkapkan beberapa tahapan yang digunakan membangun
kecerdasan emosi-spiritual, yaitu:
1. Penjernihan emosi (Zero Mind Process);
tahap ini merupakan titik tolak dari kecerdasan emosi, yaitu kembali pada hati
dan pikiran yang bersifat merdeka serta bebas dari segala belenggu. Ada tujuh
hal yang dapat membelenggu dan menutupi fitrah (God-Spot), yaitu:
prasangka, prinsip-prinsip hidup, pengalaman, kepentingan dan prioritas, sudut
pandang, pembanding literatur. Tanpa disadari semua itu membuat manusia menjadi
buta, sehingga tidak memiliki radar hati sebagai pembimbing. Manusia terjerumus
ke dalam kejahatan, kecurangan, kekerasan, kerusakan dan kehancuran, dan pada
akhirnya mengakibatkan kegagalan.
2. Membangun mental (Mental Building);
berkenaan dengan pembentukan alam berpikir dan emosi secara sistematis
berdasarkan Rukun Iman. Pada bagian ini diharapkan akan tercipta format
berpikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri, serta sesuai dengan hati nurani
terdalam dari diri manusia. Di sini akan terbentuk karakter manusia yang
memiliki tingkat kecerdasan emosi-spiritual sesuai dengan fitrah manusia, yang
mencakup enam prinsip:
a.
Star
Principle (prinsip
bintang); terkait dengan rasa aman, kepercayaan diri, intuisi, integritas,
kebijaksanaan dan motivasi yang tinggi, yang dibangun dengan landasan iman
kepada Allah SWT.
b. Angel Principle (prinsip malaikat); yakni keteladanan malaikat,
antara lain mencakup loyalitas, integritas, komitmen, kebiasaan memberi dan
mengawali, suka menolong dan saling percaya.
c.
Leadership
Principle (prinsip
kepemimpinan); setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri untuk
mengarahkan hidupnya. Untuk menjadi seorang pemimpin yang baik disyaratkan
melampaui lima tangga kepemimpinan (Ginanjar, 2001), yaitu pemimpin yang dicintai,
pemimpin yang dipercaya, pemimpin yang menjadi pembimbing, pemimpn yang
berkepribadian, dan menjadi pemimpin yang abadi. Dengan demikian pemimpin
sejati adalah seorang yang selalu mencintai dan memberi perhatian kepada orang
lain sehingga ia pun dicintai, memiliki integritas yang kuat sehingga dipercaya
pengikutnya, selalu membimbing dan mengajarkan kepada pengikutnya, memiliki
kepribadian yang kuat dan konsisten, dan yang terpenting adalah memimpin
berlandaskan atas suara hati yang fitrah.
d. Learning Principle (prinsip pembelajaran); mencakup
kebiasaan membaca buku, membaca situasi, kebiasaan berpikir kritis, kebiasaan
mengevaluasi, menyempurnakan dan memiliki pedoman. Manusia diberi kelebihan
akal untuk berpikir, dan firman Tuhan yang pertama adalah berupa perintah
membaca (Iqra’). Umat manusia diperintahkan untuk membaca apa saja
selama bacaan tersebut bermanfaat untuk kemanusiaan. Membaca merupakan awal
mulanya ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan keberhasilan manusia.
e.
Vision
Principle (prinsip masa
depan); yakni selalu berorientasi pada tujuan akhir dalam setiap langkah yang
ditempuh, setiap langkah tersebut dilakukan secara optimal dan sungguh-sungguh,
memiliki kendali diri dan sosial dengan kesadaran akan adanya “Hari Kemudian,”
memiliki kepastian akan masa depan dan memiliki ketenangan batin yang tinggi,
yang tercipta oleh adanya keyakinan akan “Hari Pembalasan.”
f.
Well
Organized Principle (prinsip
keteraturan); selalu berorientasi pada manajemen yang teratur, disiplin,
sistematis dan integratif. Perusahaan yang berhasil umumnya memiliki
keteraturan manajemen yang baik, di samping diawali dengan misi dan visi yang
jelas. Setiap bagian organisasi harus menyadari adanya saling keterkaitan satu
dengan yang lain dalam kesatuan misi dan visi. Setiap orang harus memiliki
perasaan yang sama bahwa mereka mempunyai tugas suci di dalam perusahaan untuk
mencapai tujuan bersama.
3. Ketangguhan pribadi (Personal Strength);
merupakan langkah pengasahan hati yang telah terbentuk, yang dilakukan secara
berurutan dan sangat sistematis berdasarkan Rukun Islam, yang terdiri
atas:
a.
Mission
Statement; penetapan misi
melalui syahadat yakni membangun misi kehidupan, membulatkan tekad,
membangun visi, menciptakan wawasan, transformasi visi, dan komitmen total.
b. Character Building; pembangunan karakter melalui shalat,
yang merupakan relaksasi, membangun kekuatan afirmasi, meningkatkan ESQ,
membangun pengalaman positif, pembangkit dan penyeimbang energi batiniah dan
pengasahan prinsip.
c.
Self
Contolling; pengendalian
diri melalui puasa guna meraih kemerdekaan sejati, memelihara fitrah,
mengendalikan suasana hati, meningkatkan kecakapan emosi secara fisiologis,
serta pengendalian prinsip.
4.
Ketangguhan
sosial (Social Strength); merupakan suatu pembentukan dan pelatihan
untuk melakukan aliansi, atau sinergi dengan orang lain, serta lingkungan
sosialnya. Hal ini merupakan suatu perwujudan tanggung jawab sosial seorang
manusia yang telah memiliki ketangguhan pribadi, yang dapat diperoleh melalui
hal-hal berikut:
a. Collaboration Strategy; sinergi melalui zakat, hal ini
dapat membangun landasan kooperatif, investasi kepercayaan, komitmen,
kredibilitas, keterbukaan, empati dan kompromi.
b. Tatal Action; aplikasi total melalui haji, yang dalam
hal ini haji memiliki landasan zero mind (melalui ihram), meningkatkan
pengasahan komitmen dan integritas (melalui thawaf), pengasahan Adversity
Quotient (AQ) yakni kecerdasan seseorang untuk mengatasi kesulitan dan
sanggup bertahan hidup atau tidak berputus asa (melalui sa’i), evaluasi
dan visualisasi (melalui wukuf), mampu menghadapi tantangan (dengan
melontar jumrah) serta melakukan sinergi (dengan berjama’ah haji).
Membangun
Sumber Daya Manusia yang Berkualitas
Ada beberapa kasus yang
menggambarkan adanya risiko mempekerjakan karyawan pada lingkungan bisnis saat
ini. Keberhasilan semakin tergantung pada kemampuan yang tidak dapat diukur dan
jarang ditemukan pada seseorang seperti misalnya fleksibilitas dan pengetahuan
lintas budaya. Kekeliruan yang sering terjadi dalam mempekerjakan karyawan
dikarenakan adanya jebakan-jebakan yang bertujuan untuk merefleksi beberapa
aspek sifat manusia dan kebutuhan mendesak untuk menentukan solusi yang
bijaksana, yaitu: pendekatan reaktif, spesifikasi yang tidak realistis,
evaluasi seseorang secara mutlak, menerima karyawan pada nilai luar,
mempercayai referensi, bias "hanya seperti saya", kesalahan delegasi,
wawancara yang tidak terstruktur, mengabaikan kecerdasan emosional dan tekanan
potensial pada keahlian sosial.
Schuler (1990) menyebutkan
bahwa isu tentang manusia sekarang berubah menjadi isu tentang hubungan
bisnis-manusia, yang mencakup:
1.
Mengelola kemampuan karyawan
2.
Mengelola keragaman karyawan
3. Mengelola tingkat persaingan yang makin
tinggi
4.
Mengelola globalisasi
Secara
umum, saat ini dunia bisnis dihadapkan pada lima tantangan kritis, di mana
tantangan tersebut menuntut organisasi untuk membangun kapabilitas baru. Sumber
daya manusia memiliki peluang untuk mengembangkan kapabilitas tersebut dan
memainkan leadership role dalam
menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Adapun tantangan-tantangan kritis itu
adalah sebagai berikut:
1.
Globalisasi
2.
Profitabilitas melalui pertumbuhan
3.
Teknologi
4.
Modal intelektual
5.
Perubahan
Lima
tantangan tersebut di atas memiliki implikasi bagi bisnis. Dalam ekonomi baru,
perusahaan yang unggul dalam persaingan adalah perusahaan yang cepat tanggap
dalam merespon berbagai perubahan dan memaksimumkan kontribusi dan komitmen
karyawan serta menciptakan kondisi bagi perubahan yang tiada henti.
Robert Stenberg dalam Ginanjar (2001) menyatakan
bahwa salah satu sikap paling membahayakan yang telah dilestarikan oleh budaya
kerja moderen adalah bahwa kita tidak boleh, dalam situasi apa pun, mempercayai
suara hati atau persepsi kita. Namun berbagai survei terhadap para eksekutif,
manajer dan para pengusaha yang berhasil menunjukkan bahwa sebagian besar di
antara mereka telah bertahun-tahun menggantungkan diri pada dorongan hati,
selain bermacam-macam bentuk lain kecerdasan emosional dalam hampir semua
keputusan dan interaksi.
Ironisnya, pendidikan di
Indonesia selama ini terlalu menekankan arti penting nilai akademik atau
kecerdasan intelektual semata. Dari pendidikan tingkat dasar sampai tingkat
tinggi jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosi yang
mengajarkan tentang integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas,
ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan dan penguasaan
diri atau sinergi, padahal justru hal-hal itulah yang terpenting. Akibatnya
karakter dan kualitas sumber daya manusia era 2000 masih patut dipertanyakan,
yang berbuntut pada krisis ekonomi yang berkepanjangan saat ini. Hal tersebut
ditandai dengan krisis moral atau buta hati yang terjadi di segala bidang.
Meskipun mereka berpendidikan sangat tinggi dengan bermacam-macam gelar di
depan maupun di belakang namanya, mereka hanya mengandalkan logika dan
mengabaikan suara hati yang sebenarnya mampu memberikan informasi sangat
penting untuk meraih keberhasilan.
Sebagaimana diungkapkan oleh
Robert K. Cooper, Ph.D. dalam Ginanjar (2001), bahwa hati mengaktifkan
nilai-nilai kita yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir
menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati tahu hal-hal yang tidak dapat diketahui
oleh pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas dan
komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita
belajar, menciptakan kerjasama, memimpin dan melayani.
Hati nurani akan menjadi pembimbing terhadap apa
yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat, artinya bahwa setiap manusia
sebenarnya telah memiliki sebuah radar hati sebagai pembimbingnya. Oleh karena
itu, memegang teguh kata hati nurani merupakan tantangan hidup yang perlu
dikembangkan dalam menghadapi perubahan kehidupan yang begitu cepat dan dinamis
dewasa ini.
Namun, kebanyakan program
pelatihan selama ini telah berpegang pada suatu model akademis, dan ini
merupakan kekeliruan terbesar dan telah menghamburkan waktu dan dana yang tak
terhitung jumlahnya. Yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia sekarang ini adalah cara berpikir yang sama sekali baru tentang apa
saja yang dapat membantu orang mengembangkan kecerdasan emosional (Ginanjar,
2001).
Pada umumnya dampak nyata
sebuah pelatihan apa pun jenisnya adalah mereka hanya mendapatkan angin energi
baru. Namun hal itu hanya berlangsung sesaat, karena setelah itu biasanya para
peserta tersebut akan kembali pada kebiasaan semula saat sebelum pelatihan. Dan
hasil yang paling umum dari suatu pelatihan adalah meningkatkan rasa percaya
diri peserta, setidaknya untuk sementara waktu. Jadi, pemahaman saja tidaklah
cukup, diperlukan suatu pelatihan yang berkelanjutan sehingga bisa menjadi
suatu kebiasaan dan kemudian membentuk suatu karakter yang diharapkan, dan
dengan sendirinya kebiasaan lama yang buruk akan menghilang.
Kecakapan,
pada hakikatnya dapat dipandang sebagai sekumpulan kebiasaan yang
terkoordinasi, apa yang dipikirkan, dirasakan dan dikerjakan agar suatu tugas
terlaksana (Goleman, 2000). Kecakapan emosi dapat dipelajari kapan saja.
Berbeda dengan IQ, kecerdasan emosi dapat meningkat dan terus ditingkatkan
sepanjang waktu selama hidup. Kemudian timbul pertanyaan, mekanisme pelatihan
seperti apa yang mampu memberikan suatu pelatihan kecerdasan emosi yang bisa
berjalan seumur hidup tersebut, karena pada umumnya pelatihan yang dilakukan
hanya memberi implikasi sesaat dan relatif terbukti bahwa pelatihan sesingkat
itu tidak banyak memberikan arti dalam pembentukan karakter. Sekarang ini yang
dibutuhkan adalah pelatihan sepanjang waktu, yang mampu membentuk suatu karakter
dengan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi (internalisasi), yakni pelatihan
yang di dalamnya para peserta mengikuti program pelatihan yang didasari oleh
kesadaran diri yang kuat, yang sesuai dengan suara hati.
Peran ESQ dalam Perbaikan Kualitas Sumber Daya Manusia
Efek yang akan merugikan perusahaan apabila
kecerdasan emosi tidak dikelola dengan baik adalah moral yang buruk dari sumber
daya manusia yang ada di perusahaan, munculnya pemimpin yang arogan, banyaknya
pekerja yang diintimidasi dan sebagainya. Sangat dimungkinkan efek tersebut
tidak bisa segera dirasakan secara langsung oleh manajemen, tetapi efek
tersebut akan muncul dalam bentuk yang berbeda misalnya produktivitas yang
menurun, tidak tercapainya target waktu yang telah ditentukan dan sebagainya
(Scott, 1996).
Peran manajemen sumber daya manusia menjadi
semakin kompleks karena harus selalu mengembangkan kompetensi untuk membentuk
budaya dan kebiasaan masing-masing individu yang ada dengan cara membangun EQ
yang baik untuk individu, tim maupun organisasi melalui pelatihan dan
pengembangan sumber daya manusia (Harrison, 1997).
Pfeffer (1995), mengemukakan
praktek-praktek pengelolaan karyawan, yang mencakup:jaminan kerja, selektif
dalam perekrutan, upah yang tinggi, pemberian insentif, kepemilikan karyawan, sharing informasi, partisipasi dan
pemberdayaan, self-managed team, pelatihan dan pengembangan skill, cross-utilization dan cross-training, egalitarianisme
simbolik, penekanan upah, dan promosi dari dalam perusahaan.
Secara konsep fungsi manajemen
sumber daya manusia di suatu perusahaan tidak mengalami perubahan. Fungsi-fungsi
tersebut tergambar seperti berikut ini:
Managing
the human resource environ-ment
|
Acquiring and preparing human resource |
Assesment and development of human resource |
|
|
Sumber: Noe, et al. (2000)
Di dalam praktek, aktivitas-aktivitas dalam
masing-masing fungsi tersebut sangat dinamis dan selalu mengalami banyak
perubahan. Aktivitas tersebut harus selalu terkait dengan manajemen strategis
yang dimiliki perusahaan. Tiga pertanyaan strategis yang harus dijawab oleh
perusahaan sebagaimana diungkapkan Noe, et al. (2000) adalah:
- Di mana kita berkompetisi
- Bagaimana kita berkompetisi
- Dengan apa kita berkompetisi
Manajemen sumber daya manusia mempunyai
peran yang besar dalam menjawab pertanyaan terakhir dari tiga pertanyaan
strategis di atas. Pengelola sumber daya manusia bertanggung jawab terhadap
kapabilitas sumber daya manusia, baik keterampilan, kemampuan dan pengetahuan
serta kecerdasan emosi dan spiritual yang memegang peranan yang sangat besar.
Kecerdasan emosi merupakan bagian kapabilitas
sumber daya manusia. Menurut Goleman (2000) kemampuan kecerdasan emosi
terdiri atas:
- Mandiri: masing-masing menyumbang secara unik kepada performa kerja.
- Saling tergantung: masing-masing sampai batas tertentu memerlukan hal-hal tertentu pada yang lain, dengan interaksi intensif.
- Hirarki:kemampuan kecerdasan emosi membentuk bangun yang bertingkat. Sebagai contoh, kesadaran diri penting sekali untuk pengaturan diri dan empati. Pengaturan diri dan kesadaran diri ikut membangun motivasi.
- Perlu, tapi tidak cukup: artinya dengan memiliki kemampuan kecerdasan emosi sebagai dasar, belum menjamin orang akan mengembangkan atau memperlihatkan kecakapan-kecakapan terkait, misalnya dalam hal kerjasama dan kepemimpinan. Faktor-faktor seperti iklim perusahaan, atau minat seseorang terhadap pekerjaannya, juga akan menentukan apakah kecakapannya akan terwujud.
- Generik: walaupun daftar umum ini sampai batas tertentu berlaku bagi semua pekerjaan, pekerjaan berbeda memerlukan kecakapan yang berbeda pula.
Sebagaimana dikemukakan oleh Ashor dalam Harrison
(1997) bahwa dalam menghadapi suatu
persaingan, perusahaan harus melakukan inovasi terus menerus, mengatasi masalah
secara kreatif, proses belajar yang terus menerus dan mengelola keanekaragaman
yang semakin besar. Namun demikian dalam lingkungan yang dinamis, hal-hal lain
yang diperlukan adalah adanya keinginan bersama untuk melakukan efisiensi, yang
dapat dicapai melalui kerjasama di dalam tim dan antar tim, gaya kepemimpinan yang menekankan pada
semangat efisiensi dan keunggulan mutu dalam organisasi. Semua hal tersebut
mensyaratkan adanya kecerdasan emosi-spiritual, yang dalam hal ini sebagaimana
telah diungkapkan di atas bahwa kecerdasan emosi-spiritual merupakan dasar
mengenali dan memahami bagian terdalam dari suara hati kita sendiri dan juga
perasaan serta suara hati orang lain, di mana suara hati adalah dasar
kecerdasan emosi-spiritual dalam membangun ketangguhan pribadi sekaligus
membangun ketangguhan sosial (Ginanjar, 2001).
Hal ini senada dengan apa yang
dinyatakan oleh Salgado dalam Behling (1998), bahwa berkaitan dengan karakter
dan sikap karyawan, ada lima dimensi kepribadian yang merupakan pola-pola
perilaku yang bertahan dalam berbagai situasi dan masa hidup manusia yang
sering disebut sebagai lima besar, yaitu:ekstrovert, stabilitas emosi, mudah
bekerja sama, kecermatan, dan keterbukaan terhadap pengalaman. Kecerdasan
memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap kinerja dalam pelatihan (Flee &
Earles, dalam Behling, 1998). Kecerdasan umum secara konsisten mampu
memprediksi kinerja dengan baik. Namun kecerdasan tidaklah cukup untuk menjamin
keberhasilan seseorang.
Humorolog Jaya Suprana dalam
Goestiandi (2002) mengungkapkan adanya teori 5i, bahwa untuk sukses dalam
pekerjaan dan kehidupan, seseorang harus memiliki 5i, yaitu:
- Informasi; knowledge and information is the power, bahwa semakin banyak informasi makin besar peluang untuk melihat realitas dan kemungkinan dalam hidup ini.
- Intelijensi; diperlukan untuk bisa menyaring informasi itu yang berdaya guna dan mana yang tidak. Meski telah diungkapkan sebelumnya bahwa IQ tidak menjamin keberhasilan, namun keberadaannya tetap diperlukan. Penekanannya bukan pada aspek kepemilikan tapi lebih pada pemanfaatan kecerdasan tersebut
- Inovasi; banyak ide-ide baru yang tidak tercakup dalam informasi sehingga perlu daya inovatif untuk menggali gagasan-gagasan baru tersebut.
- Inisiatif; merupakan prakarsa untuk merealisasi atau mewujudkan gagasan-gagasan tersebut di atas.
- Insya Allah; artinya jika Tuhan mengijinkan, bahwa sebagus apapun rencana dan tindakan manusia pada akhirnya memerlukan restu dari Yang di Atas untuk sukses.
Hal-hal tersebut di atas tentunya tidak berbeda
dengan apa yang telah dipaparkan di bagian terdahulu berkaitan dengan
kecerdasan emosional-spiritual.
Ginanjar
(2001) menggagas konsep pemikiran baru yang disebut sebagai ESQ Model, sebagai
cara membangun suatu prinsip hidup dan karakter, berdasarkan Rukun Iman dan
Rukun Islam, sehingga akan tercipta suatu kecerdasan emosi-spiritual sekaligus
langkah pelatihan yang sistematis dan jelas. Dan pada akhirnya nanti akan
terbentuk pula suatu pemahaman, visi, keterbukaan, integritas, konsistensi dan
sifat kreatif yang didasari atas kesadaran diri serta sesuai dengan suara hati
yang terdalam, yang pada akhirnya pula akan menjadikan Islam tidak hanya
sebatas agama ritual tetapi juga sebagai “the way of life.”
Konsep ESQ
Model ini diyakini mampu melahirkan manusia unggul, namun bukanlah suatu
program pelatihan kilat. Hal ini memerlukan proses yang berkelanjutan dan
komitmen yang kuat. ESQ Model akan senantiasa berpusat pada prinsip atau
kebenaran yang hakiki yang bersifat universal dan abadi. Sejarah menunjukkan
bahwa orang-orang yang sukses adalah orang yang berpegang teguh pada prinsip.
Prinsip dasar adalah suatu kesadaran fitrah (awareness), yang berpegang
pada Pencipta yang Abadi, yakni prinsip akan Keesaan Tuhan.
Jadi ESQ
merupakan konsep universal yang mampu mengantarkan seseorang pada ‘predikat
yang memuaskan’ bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. ESQ Model yang
dikembangkan ini tidak hanya untuk umat Islam, meskipun di dalamnya mengacu
pada Rukun Iman dan Rukun Islam. Sebagaimana yang disampaikan Emha Ainun Nadjib
seperti yang diungkapkan kembali oleh Ginanjar (2001) bahwa meski di
dalamnya terkandung Rukun Iman dan Rukun Islam, bukan berarti eksklusifisme
aliran atau agama, tapi keinginan untuk menyampaikan kebenaran, meskipun ada Al
Qur’an, itu bukan untuk golongan, tapi untuk seluruh umat manusia. Bukan Al
Qur’an untuk Islam, bukan dunia untuk Islam, tapi Al Qur’an dan Islam untuk
dunia. Islam merindukan perdamaian dan kebahagiaan sejati bersama dengan yang
lain.
Simpulan
Sumber daya manusia memiliki peran sentral dalam
organisasi, sehingga kualitas sumber daya manusia tersebut perlu diperhatikan
untuk menjamin keberhasilan organisasi. Kualitas sumber daya manusia tidak
hanya dipandang dari satu sisi kecerdasan saja, bahkan kecerdasan intelektual
yang tinggi tidak menjamin keberhasilan sumber daya manusia dalam bekerja
maupun dalam kehidupan. Kecerdasan emosi-spiritual memegang peranan penting
dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia, karena seseorang yang memiliki
kecerdasan emosi-spiritual tinggi akan memiliki pula daya kreativitas, visi,
komitmen, integritas dan kemampuan bersinergi dengan orang lain serta daya
tahan mental untuk menghadapi tantangan.
Kecerdasan emosi-spiritual mampu mengintegrasi
antara akal dan emosi dalam praktek kehidupan dengan menyertakan unsur
spiritual sehingga tercipta integrasi antara IQ, EQ dan SQ, yang merupakan
syarat utama suatu keberhasilan. Orang yang berhasil secara lahir dan bathin
adalah orang yang memiliki tingkat kecerdasan emosi dan spiritual yang tinggi
secara seimbang, di samping kemampuan intelektualitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aburdene, Patricia. (2006). Megatrends
2010, Transmedia, Jakarta.
Behling, O. (1998). Employee selection: Will intelligence and
conscientiousness do the job? Academy
of Management Executive,
12(1): 77-86.
Druskat, Vanessa Urch and Steven B. Wolf. (2001), Building The
Emotional Intelligence of Group, Harvard Business Review, March.
Ginanjar, Ary, A. (2001), Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi
dan Spiritual ESQ – Emotional Spiritual Quotient berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5
Rukun Islam, Penerbit Arga.
Goestiandi, E. (2002), Sebagian Besar Hidup Kita Sia-sia, Manajemen,
Februari: 6-7.
Goleman, Daniel. (2000), Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak
Prestasi, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Harrison, Roy.
(1997), Why Your Firm Needs Emotional Intelligence, People Management, January,
IN: 9709280194.
Noe, A Raymond, John R. Hollenbeck, Barry Gerhart and Patrick M
Wright. (2000). Human Resources Management: Gaining a Competitive Advantage,
3rd edition, McGraw Hill.
Pfeffer, J. (1995). Producing sustainable competitive advantage
through the effective management of people. Academy of Management
Executive, 19(1): 55-72.
Rokhman, Nur. (2002). Mengkaji peran Emotional Intelligence dalam
aktivitas sumber daya manusia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi, 1(2):24-34.
Schuler, R.S. (1990). Repositioning the human resource function:
Transformation or demise? Academy
of Management
Executive, 4(3): 49-60.
Scott, Anne. (1996). IQ isn’t everytihing, Des Moines Business
Record, October, IN: 9610281279.
Zohar, D & Marshall, I. (2000). SQ:
Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence. Bloomsbury.
0 komentar:
Posting Komentar