Unordered List

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 17 Januari 2013

Peningkatan Kecerdasan



UPAYA MEMBANGUN  KARYAWAN YANG BERKUAITAS  MELALUI PENINGKATAN KECERDASAN EMOSIONAL - SPIRITUAL (ESQ)
Oleh: Daru Asih

Staff Accounting Master Teacher Program
Graduate Mercu Buana University


Abstract
There ‘re many literatures about business organization-system building that use the human resources as determinant to make the competitive advantage. But they don’t discuss the disposition of people (fitrah manusia) so the role of the human resources haven’t been maximum in achieving the competitive advantage.
This paper discuss the Emotional and Spiritual Quotient (ESQ) as an integration of IQ, EQ and SQ to enhance the quality of human resources. The human resources are unique and different from the others resources. The ESQ can integrate the intellegence and heart of people (rational, emotional and spiritual elements) in building the strong character and personality that based on the sublime human values. Finally, the advance and the success will be achieved through the human resource having good quality, not only intellectually, but be balanced with the high ESQ. With this descriptive analysis of ESQ, we ‘ll see the problem clearly and the results of this view ‘ll contribute the important matter to create the competitive advantage through the human resources’ capabilities.

Key Words: Emotional Quotient, Spiritual Quotient, quality of human resources and emotional and spiritual quotient.




Pendahuluan
Pencarian terhadap spiritualitas terus tumbuh subur di tengah masyarakat. Menurut Aburdene (2006) dalam buku Megatrends 2010, pencarian atas spiritualitas adalah megatrend terbesar di masa sekarang ini. Jutaan orang telah mengundang spirit masuk ke dalam hidup mereka, melalui perkembangan pribadi, agama, meditasi, doa, ataupun yoga. Pencarian spiritual mengubah bentuk berbagai aktivitas, prioritas, pencarian kesenangan, dan pola-pola pembelanjaan masyarakat.
Bahaya terbesar yang dihadapi umat manusia sekarang ini bukanlah semakin menipisnya lapisan ozon pada atmosfer bumi akibat pemanasan global , ataupun luapan lumpur Lapindo yang tiada kunjung berhenti, bukan pula meningkatnya angka kemiskinan akibat membubungnya harga BBM, bahaya besar itu adalah perubahan fitrah manusia. Unsur kemanusian di dalam dirinya sedang mengalami kehancuran sedemikian cepat, sehingga yang tercipta sekarang ini adalah sebuah ras yang non manusiawi. Dengan kata lain inilah mesin yang berbentuk manusia, yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam yang fitrah.
Selama ini banyak berkembang dalam masyarakat kita sebuah pandangan stereotip, dikotomisasi antara dunia dan akhirat, dikotomisasi antara unsur-unsur kebendaan dan unsur agama, antara unsur kasat mata dan tak kasat mata, materialisme versus orientasi nilai-nilai Ilaihiyah semata. Mereka yang memilih keberhasilan di alam “vertikal”cenderung berpikir bahwa kesuksesan dunia justru adalah sesuatu yang bisa “dinisbikan” atau sesuatu yang bisa demikian mudahnya ‘dimarginalkan’. Hasilnya, mereka unggul dalam kekusyukan dzikir dan kekhitmatan berkontemplasi namun menjadi kalah dalam percaturan ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, politik dan perdagangan di alam ‘horizontal’. Sebaliknya, mereka yang berpijak hanya pada alam kebendaan, kekuatan berpikirnya tak pernah diimbangi oleh kekuatan dzikir. Realitas kebendaan yang masih membelenggu hati, tidak memudahkan baginya untuk berpijak pada alam fitrahnya.
Sementara itu salah satu penyebab terjadinya berbagai krisis, seperti krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia ini adalah berpangkal pada mutu sumber daya manusia itu sendiri. Perilaku orang dan etika orang berwirausaha telah jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan nilai kebenaran yang hakiki. Yang terjadi adalah “hukum rimba bisnis” yang sangat tidak manusiawi, yang kuat memakan yang lemah, dan hanya berorientasi jangka pendek semata. Hukum rimba ini berdampak pada terganggunya keseimbangan tatanan ekonomi, sosial, budaya dan politik secara meluas dan sangat dalam, yang akhirnya berujung pada “keterpurukan” bangsa dan negara seperti sekarang ini.
Dalam dunia bisnis, sumber keunggulan kompetitif berganti dari waktu ke waktu. Sumber daya manusia merupakan kunci utama untuk meraih keunggulan kompetitif, karena sumber daya manusia adalah faktor yang unik yang tidak bisa disamakan dengan sumber daya lainnya. Fungsi sumber daya manusia mempunyai peranan  penting dalam perusahaan. Faktor manusia tidak lagi hanya sebagai faktor produksi, tetapi telah dianggap sebagai asset perusahaan. Perusahaan tidak lagi mengandalkan teknologi, hak paten maupun posisi strategis, tetapi lebih memfokuskan pada pengelolaan tenaga kerjanya.
Noe, et al. (2000) menyatakan bahwa sumber daya manusia mempunyai fungsi penting dalam menentukan kesuksesan ketika perusahaan menghadapi tantangan-tantangan globalisasi. Tantangan- tantangan tersebut terdiri atas pasar global yang semakin luas, daya saing sumber daya manusia di pasar global dan bagaimana mempersiapkan sumber daya manusia untuk menghadapi pasar tenaga kerja.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu psikologi dan perkembangan dalam mengelola sumber daya manusia, diketahui bahwa kesuksesan seseorang bekerja bukan semata-mata didasarkan keterampilan dan kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, tetapi didasarkan juga pada kecerdasan emosional (Emotional Quotient/EQ). EQ memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk kesuksesan sumber daya manusia baik secara individu maupun kelompok dalam menghadapi tantangan-tantangan globalisasi.
Namun pada akhir abad keduapuluh, serangkaian data ilmiah terbaru yang sejauh ini belum banyak dibahas, menunjukkan adanya jenis kecerdasan ketiga yaitu kecerdasan spiritual (SQ). SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif, dapat mengubah aturan dan situasi. SQ memberi kemampuan untuk membedakan, memberi kita rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan pemahaman dan cinta serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan pemahaman sampai pada batasannya.
Selanjutnya,  meskipun SQ dan EQ berbeda, namun keduanya memiliki muatan yang sama-sama penting untuk bersinergi satu sama lain, yang kemudian oleh Ary Ginanjar Agustian digabungkan menjadi kecerdasan emosional dan spiritual atau lebih dikenal sebagai Emotional and Spiritual Quotient (ESQ). ESQ mampu mengintegrasi kekuatan otak dan hati manusia dalam membangun karakter dan kepribadian yang tangguh, yang didasari nilai-nilai mulia kemanusiaan, yang pada akhirnya akan tercapai kemajuan dan keberhasilan melalui sumber daya manusia yang berkualitas, yang tidak hanya cerdas secara intelektual, namun juga diimbangi dengan kecerdasan emosi-spiritual yang tinggi pula.

 

Kecerdasan Emosi (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ)

Menurut Derk dalam Scott (1996), kecerdasan adalah kemampuan memproses informasi dan memecahkan masalah. Kecerdasan emosi (EQ) adalah suatu kecerdasan yang merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain (Goleman, 2000). Sedangkan Salovey dan Mayer dalam Goleman (2000) mendefinisi kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Dan secara lebih praktis, Scott (1996) menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memecahkan masalah yang berhubungan dengan situasi sosial dan hubungan antara manusia.
Penemuan konsep EQ telah mengubah pandangan para praktisi sumber daya manusia bahwa keberhasilan kerja bukan semata-mata didasarkan pada kecerdasan akademik yang diukur dengan IQ yang tinggi tetapi lebih pada kecerdasan emosinya. Peran IQ dalam mendukung keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua sesudah EQ. Menurut Goleman (2000), beberapa konsep yang perlu diperhatikan adalah:
1.                    Kecerdasan emosi tidak hanya berarti “bersikap ramah.” Pada saat-saat tertentu yang diperlukan mungkin bukan sikap ramah melainkan sikap tegas.
2.                    Kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan perasaan untuk berkuasa, melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresi dengan tepat dan efektif yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancar menuju sasaran bersama.
Dalam sebuah perusahaan yang banyak mengandalkan kerja kelompok atau tim, EQ mempunyai peran yang sangat besar dalam mendukung keberhasilan tim. Menurut Druskat dan Wolf (2001) hasil studi menunjukkan bahwa sebuah tim akan lebih kreatif dan produktif ketika di dalam tim tersebut tercipta suatu partisipasi, kooperasi dan kolaborasi di antara anggotanya. Akan tetapi perilaku interaktif tersebut memerlukan tiga kondisi yang harus dipenuhi, yaitu pertama, adanya saling percaya di antara anggota (mutual trust among member) , kedua, setiap anggota mempunyai sense  of identity, yaitu bahwa timnya adalah suatu yang unik, kemudian yang ketiga, setiap anggota   tim mempunyai sense of efficacy, yaitu suatu kepercayaan bahwa tim akan bekerja lebih efektif jika setiap anggota bekerjasama dibandingkan apabila setiap anggota bekerja sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang cukup baik. Syarat tersedianya kondisi tersebut di atas adalah adanya emosi. Ketiga hal tersebut akan muncul dalam suatu lingkungan yang dalam hal ini emosi dikelola dengan baik.
EQ sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual (IQ). EQ memberi kita kesadaran mengenai perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain. Goleman (2000) menyatakan bahwa EQ merupakan persyaratan dasar untuk menggunakan IQ secara efektif.
Menyusul temuan tentang EQ ini, pada akhir abad kedua puluh ditemukan lagi jenis kecerdasan yang ketiga yaitu kecerdasan spiritual, yang melengkapi gambaran utuh mengenai kecerdasan manusia. Zohar dan Marshall (2000) mendefinisi kecerdasan spiritual (SQ) sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan yang lain. SQ merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, dan SQ ini merupakan kecerdasan manusia yang paling tinggi tingkatannya.
SQ digunakan untuk menghadapi masalah-masalah eksistensial, yaitu ketika orang secara pribadi merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran dan masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan. SQ dapat juga menjadikan orang lebih cerdas secara spiritual dalam beragama, artinya seseorang yang memiliki SQ tinggi mungkin menjalankan agamanya tidak secara picik, eksklusif, fanatik atau prasangka. SQ juga memungkinkan orang untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani  kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain. Seseorang yang memiliki SQ tinggi cenderung menjadi seorang pemimpin yang penuh pengabdian, bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi kepada orang lain, dan bisa memberi inspirasi kepada orang lain.

Kecerdasan Emosi-Spiritual (ESQ)
Kecerdasan emosi-spiritual (ESQ) merupakan sinergi dari EQ dan SQ yang pertama kali digagas oleh Ginanjar (2001) sebagai penggabungan antara  kepentingan dunia (EQ) dan kepentingan spiritual (SQ). Kecerdasan emosi-spiritual merupakan dasar mengenali dan memahami bagian terdalam dari suara hati kita sendiri dan juga perasaan serta suara hati orang lain, di mana suara hati adalah dasar kecerdasan emosi-spiritual dalam membangun ketangguhan pribadi sekaligus membangun ketangguhan sosial (Ginanjar, 2001).
Kecerdasan emosi-spiritual juga merupakan kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya kepekaan emosi sebagai informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi untuk mencapai sinergi, yakni saling menjalin kerjasama antara seseorang atau kelompok orang dengan orang lain atau kelompok lain dan saling menghargai berbagai perbedaan, yang bersumber dari suara hati manusia sebagai dasar mengenali dan memahami bagian terdalam dari suara hati kita sendiri, juga perasaan  serta suara hati orang lain.
Selama ini IQ, EQ dan bahkan SQ yang ada hanya berorientasi pada hubungan antar manusia, sedangkan nilai-nilai transendental (Ketuhanan) baru sebatas filosofis saja. SQ yang dipaparkan Danah Zohar dan Ian Marshall baru membahas sebatas adanya God-Spot pada otak manusia, tetapi tidak memiliki nilai transendental atau hubungan dengan Tuhan. Sedangkan kecerdasan emosi-spiritual (ESQ) sebagai sinergi dari EQ dan SQ ini sudah menjangkau nilai-nilai Ketuhanan. ESQ Model yang dikembangkan ini merupakan perangkat kerja dalam hal pengembangan karakter dan kepribadian berdasarkan nilai-nilai Rukun Iman dan Rukun Islam, yang pada akhirnya akan menghasilkan manusia unggul di sektor emosi dan spiritual, yang mampu mengeksplorasi  dan menginternalisasi kekayaan ruhiyah dan jasadiyah dalam hidupnya (Ginanjar, 2001). 
Kecerdasan emosi-spiritual senantiasa berpusat pada prinsip atau kebenaran yang hakiki yang bersifat universal dan abadi. Ginanjar (2001) mengungkapkan beberapa tahapan yang digunakan membangun kecerdasan emosi-spiritual, yaitu:
1.       Penjernihan emosi (Zero Mind Process); tahap ini merupakan titik tolak dari kecerdasan emosi, yaitu kembali pada hati dan pikiran yang bersifat merdeka serta bebas dari segala belenggu. Ada tujuh hal yang dapat membelenggu dan menutupi fitrah (God-Spot), yaitu: prasangka, prinsip-prinsip hidup, pengalaman, kepentingan dan prioritas, sudut pandang, pembanding literatur. Tanpa disadari semua itu membuat manusia menjadi buta, sehingga tidak memiliki radar hati sebagai pembimbing. Manusia terjerumus ke dalam kejahatan, kecurangan, kekerasan, kerusakan dan kehancuran, dan pada akhirnya mengakibatkan kegagalan.
2.       Membangun mental (Mental Building); berkenaan dengan pembentukan alam berpikir dan emosi secara sistematis berdasarkan Rukun Iman. Pada bagian ini diharapkan akan tercipta format berpikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri, serta sesuai dengan hati nurani terdalam dari diri manusia. Di sini akan terbentuk karakter manusia yang memiliki tingkat kecerdasan emosi-spiritual sesuai dengan fitrah manusia, yang mencakup enam prinsip:
a.        Star Principle (prinsip bintang); terkait dengan rasa aman, kepercayaan diri, intuisi, integritas, kebijaksanaan dan motivasi yang tinggi, yang dibangun dengan landasan iman kepada Allah SWT.
b.       Angel Principle (prinsip malaikat); yakni keteladanan malaikat, antara lain mencakup loyalitas, integritas, komitmen, kebiasaan memberi dan mengawali, suka menolong dan saling percaya.
c.        Leadership Principle (prinsip kepemimpinan); setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri untuk mengarahkan hidupnya. Untuk menjadi seorang pemimpin yang baik disyaratkan melampaui lima tangga kepemimpinan (Ginanjar, 2001), yaitu pemimpin yang dicintai, pemimpin yang dipercaya, pemimpin yang menjadi pembimbing, pemimpn yang berkepribadian, dan menjadi pemimpin yang abadi. Dengan demikian pemimpin sejati adalah seorang yang selalu mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain sehingga ia pun dicintai, memiliki integritas yang kuat sehingga dipercaya pengikutnya, selalu membimbing dan mengajarkan kepada pengikutnya, memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten, dan yang terpenting adalah memimpin berlandaskan atas suara hati yang fitrah.
d.       Learning Principle (prinsip pembelajaran); mencakup kebiasaan membaca buku, membaca situasi, kebiasaan berpikir kritis, kebiasaan mengevaluasi, menyempurnakan dan memiliki pedoman. Manusia diberi kelebihan akal untuk berpikir, dan firman Tuhan yang pertama adalah berupa perintah membaca (Iqra’). Umat manusia diperintahkan untuk membaca apa saja selama bacaan tersebut bermanfaat untuk kemanusiaan. Membaca merupakan awal mulanya ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan keberhasilan manusia.
e.        Vision Principle (prinsip masa depan); yakni selalu berorientasi pada tujuan akhir dalam setiap langkah yang ditempuh, setiap langkah tersebut dilakukan secara optimal dan sungguh-sungguh, memiliki kendali diri dan sosial dengan kesadaran akan adanya “Hari Kemudian,” memiliki kepastian akan masa depan dan memiliki ketenangan batin yang tinggi, yang tercipta oleh adanya keyakinan akan “Hari Pembalasan.”
f.         Well Organized Principle (prinsip keteraturan); selalu berorientasi pada manajemen yang teratur, disiplin, sistematis dan integratif. Perusahaan yang berhasil umumnya memiliki keteraturan manajemen yang baik, di samping diawali dengan misi dan visi yang jelas. Setiap bagian organisasi harus menyadari adanya saling keterkaitan satu dengan yang lain dalam kesatuan misi dan visi. Setiap orang harus memiliki perasaan yang sama bahwa mereka mempunyai tugas suci di dalam perusahaan untuk mencapai tujuan bersama.
3.       Ketangguhan pribadi (Personal Strength); merupakan langkah pengasahan hati yang telah terbentuk, yang dilakukan secara berurutan dan sangat sistematis berdasarkan Rukun Islam, yang terdiri atas:
a.        Mission Statement; penetapan misi melalui syahadat yakni membangun misi kehidupan, membulatkan tekad, membangun visi, menciptakan wawasan, transformasi visi, dan komitmen total.
b.       Character Building; pembangunan karakter melalui shalat, yang merupakan relaksasi, membangun kekuatan afirmasi, meningkatkan ESQ, membangun pengalaman positif, pembangkit dan penyeimbang energi batiniah dan pengasahan prinsip.
c.        Self Contolling; pengendalian diri melalui puasa guna meraih kemerdekaan sejati, memelihara fitrah, mengendalikan suasana hati, meningkatkan kecakapan emosi secara fisiologis, serta pengendalian prinsip.
4.          Ketangguhan sosial (Social Strength); merupakan suatu pembentukan dan pelatihan untuk melakukan aliansi, atau sinergi dengan orang lain, serta lingkungan sosialnya. Hal ini merupakan suatu perwujudan tanggung jawab sosial seorang manusia yang telah memiliki ketangguhan pribadi, yang dapat diperoleh melalui hal-hal berikut:
a.     Collaboration Strategy; sinergi melalui zakat, hal ini dapat membangun landasan kooperatif, investasi kepercayaan, komitmen, kredibilitas, keterbukaan, empati dan kompromi.
b.     Tatal Action; aplikasi total melalui haji, yang dalam hal ini haji memiliki landasan zero mind (melalui ihram), meningkatkan pengasahan komitmen dan integritas (melalui thawaf), pengasahan Adversity Quotient (AQ) yakni kecerdasan seseorang untuk mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan hidup atau tidak berputus asa (melalui sa’i), evaluasi dan visualisasi (melalui wukuf), mampu menghadapi tantangan (dengan melontar jumrah) serta melakukan sinergi (dengan berjama’ah haji).

Membangun Sumber Daya Manusia yang Berkualitas
Ada beberapa kasus yang menggambarkan adanya risiko mempekerjakan karyawan pada lingkungan bisnis saat ini. Keberhasilan semakin tergantung pada kemampuan yang tidak dapat diukur dan jarang ditemukan pada seseorang seperti misalnya fleksibilitas dan pengetahuan lintas budaya. Kekeliruan yang sering terjadi dalam mempekerjakan karyawan dikarenakan adanya jebakan-jebakan yang bertujuan untuk merefleksi beberapa aspek sifat manusia dan kebutuhan mendesak untuk menentukan solusi yang bijaksana, yaitu: pendekatan reaktif, spesifikasi yang tidak realistis, evaluasi seseorang secara mutlak, menerima karyawan pada nilai luar, mempercayai referensi, bias "hanya seperti saya", kesalahan delegasi, wawancara yang tidak terstruktur, mengabaikan kecerdasan emosional dan tekanan potensial pada keahlian sosial.    
Schuler (1990) menyebutkan bahwa isu tentang manusia sekarang berubah menjadi isu tentang hubungan bisnis-manusia, yang mencakup:
1.      Mengelola kemampuan karyawan
2.      Mengelola keragaman karyawan
3.      Mengelola tingkat persaingan yang makin tinggi
4.      Mengelola globalisasi
    
     Secara umum, saat ini dunia bisnis dihadapkan pada lima tantangan kritis, di mana tantangan tersebut menuntut organisasi untuk membangun kapabilitas baru. Sumber daya manusia memiliki peluang untuk mengembangkan kapabilitas tersebut dan memainkan leadership role dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Adapun tantangan-tantangan kritis itu adalah sebagai berikut:
1.      Globalisasi
2.      Profitabilitas melalui pertumbuhan
3.      Teknologi
4.      Modal intelektual
5.      Perubahan
     Lima tantangan tersebut di atas memiliki implikasi bagi bisnis. Dalam ekonomi baru, perusahaan yang unggul dalam persaingan adalah perusahaan yang cepat tanggap dalam merespon berbagai perubahan dan memaksimumkan kontribusi dan komitmen karyawan serta menciptakan kondisi bagi perubahan yang tiada henti.
Robert Stenberg dalam Ginanjar (2001) menyatakan bahwa salah satu sikap paling membahayakan yang telah dilestarikan oleh budaya kerja moderen adalah bahwa kita tidak boleh, dalam situasi apa pun, mempercayai suara hati atau persepsi kita. Namun berbagai survei terhadap para eksekutif, manajer dan para pengusaha yang berhasil menunjukkan bahwa sebagian besar di antara mereka telah bertahun-tahun menggantungkan diri pada dorongan hati, selain bermacam-macam bentuk lain kecerdasan emosional dalam hampir semua keputusan dan interaksi.
Ironisnya, pendidikan di Indonesia selama ini terlalu menekankan arti penting nilai akademik atau kecerdasan intelektual semata. Dari pendidikan tingkat dasar sampai tingkat tinggi jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan dan penguasaan diri atau sinergi, padahal justru hal-hal itulah yang terpenting. Akibatnya karakter dan kualitas sumber daya manusia era 2000 masih patut dipertanyakan, yang berbuntut pada krisis ekonomi yang berkepanjangan saat ini. Hal tersebut ditandai dengan krisis moral atau buta hati yang terjadi di segala bidang. Meskipun mereka berpendidikan sangat tinggi dengan bermacam-macam gelar di depan maupun di belakang namanya, mereka hanya mengandalkan logika dan mengabaikan suara hati yang sebenarnya mampu memberikan informasi sangat penting untuk meraih keberhasilan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Robert K. Cooper, Ph.D. dalam Ginanjar (2001), bahwa hati mengaktifkan nilai-nilai kita yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati tahu hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas dan komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita belajar, menciptakan kerjasama, memimpin dan melayani.
Hati  nurani akan menjadi pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat, artinya bahwa setiap manusia sebenarnya telah memiliki sebuah radar hati sebagai pembimbingnya. Oleh karena itu, memegang teguh kata hati nurani merupakan tantangan hidup yang perlu dikembangkan dalam menghadapi perubahan kehidupan yang begitu cepat dan dinamis dewasa ini.
Namun, kebanyakan program pelatihan selama ini telah berpegang pada suatu model akademis, dan ini merupakan kekeliruan terbesar dan telah menghamburkan waktu dan dana yang tak terhitung jumlahnya. Yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sekarang ini adalah cara berpikir yang sama sekali baru tentang apa saja yang dapat membantu orang mengembangkan kecerdasan emosional (Ginanjar, 2001).
Pada umumnya dampak nyata sebuah pelatihan apa pun jenisnya adalah mereka hanya mendapatkan angin energi baru. Namun hal itu hanya berlangsung sesaat, karena setelah itu biasanya para peserta tersebut akan kembali pada kebiasaan semula saat sebelum pelatihan. Dan hasil yang paling umum dari suatu pelatihan adalah meningkatkan rasa percaya diri peserta, setidaknya untuk sementara waktu. Jadi, pemahaman saja tidaklah cukup, diperlukan suatu pelatihan yang berkelanjutan sehingga bisa menjadi suatu kebiasaan dan kemudian membentuk suatu karakter yang diharapkan, dan dengan sendirinya kebiasaan lama yang buruk akan menghilang.
Kecakapan, pada hakikatnya dapat dipandang sebagai sekumpulan kebiasaan yang terkoordinasi, apa yang dipikirkan, dirasakan dan dikerjakan agar suatu tugas terlaksana (Goleman, 2000). Kecakapan emosi dapat dipelajari kapan saja. Berbeda dengan IQ, kecerdasan emosi dapat meningkat dan terus ditingkatkan sepanjang waktu selama hidup. Kemudian timbul pertanyaan, mekanisme pelatihan seperti apa yang mampu memberikan suatu pelatihan kecerdasan emosi yang bisa berjalan seumur hidup tersebut, karena pada umumnya pelatihan yang dilakukan hanya memberi implikasi sesaat dan relatif terbukti bahwa pelatihan sesingkat itu tidak banyak memberikan arti dalam pembentukan karakter. Sekarang ini yang dibutuhkan adalah pelatihan sepanjang waktu, yang mampu membentuk suatu karakter dengan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi (internalisasi), yakni pelatihan yang di dalamnya para peserta mengikuti program pelatihan yang didasari oleh kesadaran diri yang kuat, yang sesuai dengan suara hati.

Peran ESQ dalam Perbaikan Kualitas Sumber Daya Manusia

Efek yang akan merugikan perusahaan apabila kecerdasan emosi tidak dikelola dengan baik adalah moral yang buruk dari sumber daya manusia yang ada di perusahaan, munculnya pemimpin yang arogan, banyaknya pekerja yang diintimidasi dan sebagainya. Sangat dimungkinkan efek tersebut tidak bisa segera dirasakan secara langsung oleh manajemen, tetapi efek tersebut akan muncul dalam bentuk yang berbeda misalnya produktivitas yang menurun, tidak tercapainya target waktu yang telah ditentukan dan sebagainya (Scott, 1996).
Peran manajemen sumber daya manusia menjadi semakin kompleks karena harus selalu mengembangkan kompetensi untuk membentuk budaya dan kebiasaan masing-masing individu yang ada dengan cara membangun EQ yang baik untuk individu, tim maupun organisasi melalui pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia (Harrison, 1997).
Pfeffer (1995), mengemukakan praktek-praktek pengelolaan karyawan, yang mencakup:jaminan kerja, selektif dalam perekrutan, upah yang tinggi, pemberian insentif, kepemilikan karyawan, sharing informasi, partisipasi dan pemberdayaan, self-managed team, pelatihan dan pengembangan skill, cross-utilization dan cross-training, egalitarianisme simbolik, penekanan upah, dan promosi dari dalam perusahaan.
Secara konsep fungsi manajemen sumber daya manusia di suatu perusahaan tidak mengalami perubahan. Fungsi-fungsi tersebut tergambar seperti berikut ini:






Managing the human resource environ-ment

Acquiring and preparing human resource

Assesment and development of human resource

Competitiveness
 
Compen-sating human resource

 

 

Sumber: Noe, et al. (2000)


Di dalam praktek, aktivitas-aktivitas dalam masing-masing fungsi tersebut sangat dinamis dan selalu mengalami banyak perubahan. Aktivitas tersebut harus selalu terkait dengan manajemen strategis yang dimiliki perusahaan. Tiga pertanyaan strategis yang harus dijawab oleh perusahaan sebagaimana diungkapkan Noe, et al. (2000) adalah:
  1. Di mana kita berkompetisi
  2. Bagaimana kita berkompetisi
  3. Dengan apa kita berkompetisi

Manajemen sumber daya manusia mempunyai peran yang besar dalam menjawab pertanyaan terakhir dari tiga pertanyaan strategis di atas. Pengelola sumber daya manusia bertanggung jawab terhadap kapabilitas sumber daya manusia, baik keterampilan, kemampuan dan pengetahuan serta kecerdasan emosi dan spiritual yang memegang peranan yang sangat besar.
Kecerdasan emosi merupakan bagian kapabilitas sumber daya manusia. Menurut Goleman (2000) kemampuan kecerdasan emosi terdiri atas:
  1. Mandiri: masing-masing menyumbang secara unik kepada performa kerja.
  2. Saling tergantung: masing-masing sampai batas tertentu memerlukan hal-hal tertentu pada yang lain, dengan interaksi intensif.
  3. Hirarki:kemampuan kecerdasan emosi membentuk bangun yang bertingkat. Sebagai contoh, kesadaran diri penting sekali untuk pengaturan diri dan empati. Pengaturan diri dan kesadaran diri ikut membangun motivasi.
  4. Perlu, tapi tidak cukup: artinya dengan memiliki kemampuan kecerdasan emosi sebagai dasar, belum menjamin orang akan mengembangkan atau memperlihatkan kecakapan-kecakapan terkait, misalnya dalam hal kerjasama dan kepemimpinan. Faktor-faktor seperti iklim perusahaan, atau minat seseorang terhadap pekerjaannya, juga akan menentukan apakah kecakapannya akan terwujud.
  5. Generik: walaupun daftar umum ini sampai batas tertentu berlaku bagi semua pekerjaan, pekerjaan berbeda memerlukan kecakapan yang berbeda pula.

Sebagaimana dikemukakan oleh Ashor dalam Harrison (1997) bahwa dalam menghadapi  suatu persaingan, perusahaan harus melakukan inovasi terus menerus, mengatasi masalah secara kreatif, proses belajar yang terus menerus dan mengelola keanekaragaman yang semakin besar. Namun demikian dalam lingkungan yang dinamis, hal-hal lain yang diperlukan adalah adanya keinginan bersama untuk melakukan efisiensi, yang dapat dicapai melalui kerjasama di dalam tim dan antar tim,  gaya kepemimpinan yang menekankan pada semangat efisiensi dan keunggulan mutu dalam organisasi. Semua hal tersebut mensyaratkan adanya kecerdasan emosi-spiritual, yang dalam hal ini sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa kecerdasan emosi-spiritual merupakan dasar mengenali dan memahami bagian terdalam dari suara hati kita sendiri dan juga perasaan serta suara hati orang lain, di mana suara hati adalah dasar kecerdasan emosi-spiritual dalam membangun ketangguhan pribadi sekaligus membangun ketangguhan sosial (Ginanjar, 2001).
Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Salgado dalam Behling (1998), bahwa berkaitan dengan karakter dan sikap karyawan, ada lima dimensi kepribadian yang merupakan pola-pola perilaku yang bertahan dalam berbagai situasi dan masa hidup manusia yang sering disebut sebagai lima besar, yaitu:ekstrovert, stabilitas emosi, mudah bekerja sama, kecermatan, dan keterbukaan terhadap pengalaman. Kecerdasan memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap kinerja dalam pelatihan (Flee & Earles, dalam Behling, 1998). Kecerdasan umum secara konsisten mampu memprediksi kinerja dengan baik. Namun kecerdasan tidaklah cukup untuk menjamin keberhasilan seseorang.
Humorolog Jaya Suprana dalam Goestiandi (2002) mengungkapkan adanya teori 5i, bahwa untuk sukses dalam pekerjaan dan kehidupan, seseorang harus memiliki 5i, yaitu:
  1. Informasi; knowledge and information is the power, bahwa semakin banyak informasi makin besar peluang untuk melihat realitas dan kemungkinan dalam hidup ini.
  2. Intelijensi; diperlukan untuk bisa menyaring informasi itu yang berdaya guna dan mana yang tidak. Meski telah diungkapkan sebelumnya bahwa IQ tidak menjamin keberhasilan, namun keberadaannya tetap diperlukan. Penekanannya bukan pada aspek kepemilikan tapi lebih pada pemanfaatan kecerdasan tersebut
  3. Inovasi; banyak ide-ide baru yang tidak tercakup dalam informasi sehingga perlu daya inovatif untuk menggali gagasan-gagasan baru tersebut.
  4. Inisiatif; merupakan prakarsa untuk merealisasi atau mewujudkan gagasan-gagasan tersebut di atas.
  5. Insya Allah; artinya jika Tuhan mengijinkan, bahwa sebagus apapun rencana dan tindakan manusia pada akhirnya memerlukan restu dari Yang di Atas untuk sukses.
Hal-hal tersebut di atas tentunya tidak berbeda dengan apa yang telah dipaparkan di bagian terdahulu berkaitan dengan kecerdasan emosional-spiritual.
Ginanjar (2001) menggagas konsep pemikiran baru yang disebut sebagai ESQ Model, sebagai cara membangun suatu prinsip hidup dan karakter, berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam, sehingga akan tercipta suatu kecerdasan emosi-spiritual sekaligus langkah pelatihan yang sistematis dan jelas. Dan pada akhirnya nanti akan terbentuk pula suatu pemahaman, visi, keterbukaan, integritas, konsistensi dan sifat kreatif yang didasari atas kesadaran diri serta sesuai dengan suara hati yang terdalam, yang pada akhirnya pula akan menjadikan Islam tidak hanya sebatas agama ritual tetapi juga sebagai “the way of life.”
Konsep ESQ Model ini diyakini mampu melahirkan manusia unggul, namun bukanlah suatu program pelatihan kilat. Hal ini memerlukan proses yang berkelanjutan dan komitmen yang kuat. ESQ Model akan senantiasa berpusat pada prinsip atau kebenaran yang hakiki yang bersifat universal dan abadi. Sejarah menunjukkan bahwa orang-orang yang sukses adalah orang yang berpegang teguh pada prinsip. Prinsip dasar adalah suatu kesadaran fitrah (awareness), yang berpegang pada Pencipta yang Abadi, yakni prinsip akan Keesaan Tuhan.
Jadi ESQ merupakan konsep universal yang mampu mengantarkan seseorang pada ‘predikat yang memuaskan’ bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. ESQ Model yang dikembangkan ini tidak hanya untuk umat Islam, meskipun di dalamnya mengacu pada Rukun Iman dan Rukun Islam. Sebagaimana yang disampaikan Emha Ainun Nadjib seperti yang diungkapkan kembali oleh Ginanjar (2001) bahwa meski di dalamnya terkandung Rukun Iman dan Rukun Islam, bukan berarti eksklusifisme aliran atau agama, tapi keinginan untuk menyampaikan kebenaran, meskipun ada Al Qur’an, itu bukan untuk golongan, tapi untuk seluruh umat manusia. Bukan Al Qur’an untuk Islam, bukan dunia untuk Islam, tapi Al Qur’an dan Islam untuk dunia. Islam merindukan perdamaian dan kebahagiaan sejati bersama dengan yang lain. 

Simpulan

Sumber daya manusia memiliki peran sentral dalam organisasi, sehingga kualitas sumber daya manusia tersebut perlu diperhatikan untuk menjamin keberhasilan organisasi. Kualitas sumber daya manusia tidak hanya dipandang dari satu sisi kecerdasan saja, bahkan kecerdasan intelektual yang tinggi tidak menjamin keberhasilan sumber daya manusia dalam bekerja maupun dalam kehidupan. Kecerdasan emosi-spiritual memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia, karena seseorang yang memiliki kecerdasan emosi-spiritual tinggi akan memiliki pula daya kreativitas, visi, komitmen, integritas dan kemampuan bersinergi dengan orang lain serta daya tahan mental untuk menghadapi tantangan.
Kecerdasan emosi-spiritual mampu mengintegrasi antara akal dan emosi dalam praktek kehidupan dengan menyertakan unsur spiritual sehingga tercipta integrasi antara IQ, EQ dan SQ, yang merupakan syarat utama suatu keberhasilan. Orang yang berhasil secara lahir dan bathin adalah orang yang memiliki tingkat kecerdasan emosi dan spiritual yang tinggi secara seimbang, di samping kemampuan intelektualitasnya.

 







DAFTAR PUSTAKA



Aburdene, Patricia. (2006). Megatrends 2010, Transmedia, Jakarta.

Behling, O. (1998). Employee selection: Will intelligence and conscientiousness do the job? Academy of Management Executive, 12(1): 77-86.

Druskat, Vanessa Urch and Steven B. Wolf. (2001), Building The Emotional Intelligence of Group, Harvard Business Review, March.

Ginanjar, Ary, A. (2001), Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ – Emotional Spiritual Quotient berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Penerbit Arga.

Goestiandi, E. (2002), Sebagian Besar Hidup Kita Sia-sia, Manajemen, Februari: 6-7.

Goleman, Daniel. (2000), Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi, PT. Gramedia Pustaka Utama.

Harrison, Roy. (1997), Why Your Firm Needs Emotional Intelligence, People Management, January, IN: 9709280194.

Noe, A Raymond, John R. Hollenbeck, Barry Gerhart and Patrick M Wright. (2000). Human Resources Management: Gaining a Competitive Advantage, 3rd edition, McGraw Hill.

Pfeffer, J. (1995). Producing sustainable competitive advantage through the effective management of people. Academy of Management Executive, 19(1): 55-72.

Rokhman, Nur. (2002). Mengkaji peran Emotional Intelligence dalam aktivitas sumber daya manusia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi, 1(2):24-34.

Schuler, R.S. (1990). Repositioning the human resource function: Transformation or demise? Academy of Management Executive, 4(3): 49-60.

Scott, Anne. (1996). IQ isn’t everytihing, Des Moines Business Record, October, IN: 9610281279.

Zohar, D & Marshall, I. (2000). SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence. Bloomsbury.